SISAKAN UNTUK BESOK
Oleh: Jalius Salebbay
Pesonaku terlihat berbinar-binar di ufuk Barat Pulau
Sumatera, terbentang 6.011,35 km2
luasnya dengan
berbagai warna warni kehidupan alam yang merajutku.
Tak kau sangka isiku dapat memberimu kehidupan. Jauh
dari hingar-bingar dan suasana hiruk-pikuk gesekan rel
dan bentangan trotoar dan bisingnya pabrik dengan
lampu berkedip sana-sini membuatku berbeda dengan
titipan sang Ilahi lainnya.
135 km jaraknya aku dengan suara bising itu, aku tinggal
bersama 107 gugusan lainnya yang kau namai “tobbou”
terbagi menjadi empat bagian besar bukan berarti 103
lainnya bukan teman-temanku. Engkau mengatakan aku
sudah ada sejak 500 ribu tahun lalu, karena lamanya itu
aku mengalami perubahan. Hasil ceritamu terdapat 65%
binatang menyusui endemik dan ada 14 macam burung
endemik, aku sendiri tidak menyadarinya. Berkat semuanya ini engkau memberikan aku penghargaan yang
membuatku cukup tersanjung, gelar yang kau berikan
tahun 1981 itu bernama Cagar Biosfer Dunia. Gelar itu
kau sematkan disalah satu bagian tubuh indahku, Siberut
betulah kau sebut namanya.
Barisan pohon menjulang tinggi memagarimu
disepanjang garis pantaiku, panorama laut biru dan
aroma laut sungguh memanjakan mata. Ditutupi meranti,
kruing, benuang, durian dan nangka hutan itulah bukit
dan gunung pelarian ketika penat datang melandamu, kau
datang dan pergi menikmatinya sesukamu. Disana ada
palma, pandan, rotan dan gulma-gulma yang bertebaran
didahan pohon memikat hati untuk dijadikan korban
berkodak. Didalamku tersimpan yang kau sebut primata
endemik kau beri nama bokkoi (Macaca Pagensis), joja
(Presbytis potensziani siberu), bilou (Hylobates klosii)
dan simakobu (Nasalis concolor siberu). Kiri-kanan
perutku, kau akan temui pepohonan sagu yang
dibelakangnya ada ladang keladi, pisang, pohon pinang
hasil karya tanganmu sendiri. Jauh dari pandangan keramaian dan dentuman suara
mesin membuat pesonaku semakin terpancar teduh
dibawah panasnya sang Surya. Bumi Sikerei, itulah nama
yang kau berikan kepadaku.
Surga kecil yang menghadap
Samudra Hindia ini, tempat dimana kau belajar
merangkak, bermain hingga berlari kesana kemari,
tempat dimana sang leluhurmu meminta obat kepadaku
ketika engkau sakit dan bahkan memintaku untuk terus
menjaga dan memelihara kehidupanmu.
Beratap rumbiah, bertiang kayu dengan lilitan tali rotan
terlihat disekujur tubuh rumahmu, semua yang engkau
butuhkan untuk berteduh selama hidupmu tercukupi dan
tak perlu engkau membayarnya, semuanya itu
daripadaku. Segala kebutuhan adonan masakanmu juga
telah tersedia dengan lauk dan sayur yang melimpah
ruah. Ambillah secukupnya saja, sisakan persediaan
untuk anak-anakmu besok.
Namun saat ini pesona yang kubanggakan mulai luntur,
engkau mulai dengan memasukkan manusia besi di perutku sejak 1971, lanjut tahun 1993, kemudian tidak
berhenti disitu, akhirnya tahun 2007 kau berhenti.
Tidak
ada puasnya kau menggangguku, tahun 2018 kau izinkan
si manusia besi itu masuk lagi merusak tatanan hidupku,
kini aku tak berdaya dan hidupku akan terusik hingga
2051 nanti karena perjanjianmu dengan teman-temanmu.
Akibat ulahmu, jangan mengharapkan kekayaan itu lagi.
Yang kau sebut kekayaan hutan, keragaman hayati,
hewan endemik semua akan hilang, engkau akan
merasakan amarahku nanti. Air mataku akan membanjiri
sungai-sungai, membuatnya keruh dan kau akan
kesusahan mencari air bersih untuk mencuci baju anakanakmu.
Kini mulai banyak orang yang mengenal aku, mulai
banyak yang bermain denganku dan mulai banyak pula
yang bermain-main denganku, aku mengetahui dan
melihatnya. Mulai banyak orang yang membicarakanku,
menggosipiku dan bahkan ingin merusakku, kemanakah
engkau, mengapa tidak menolongku “apa yang kau
kwatirkan aku bisa menghidupimu!”.
Engkau mulai meninggalkan aku, atap dan tiang
rumahmu sudah berganti menjadi besi dengan gambar
warna-warni di dindingnya, adonan masakan dan sayur
yang telah disediakan dalam plastik tertutup rapat dan
bersegel itu, seolah-olah segelnya mencerminkan
khasiatnya, padahal aku tahu isinya lebih baik dari yang
kuberikan tempo hari. Lauk yang kau peroleh tidak lagi
daripadaku melainkan dari ikan yang kau bunuh dan kau
simpan lama dalam besi berkemasan rapat itu. Mengapa
engkau tidak langsung mengambilnya hidup-hidup dan
kau santap, bukankah itu yang sering kau lakukan dulu?
Ada apa sekarang?
Tiba saatnya nanti anak-anakmu akan bodoh karena
otaknya kosong akan protein dan engkau akan merasakan
sesak karena kekurangan oksigen, itu semua karena
engkau mulai merusak karang rumah ikanku dan hutan
rumah oksigenku. Kemanakah engkau dahulu kala,
bukankah engkau sahabatku? Engkau telah
menghianatiku dengan membawa teman-temanmu yang
berkapal putih dan kau jejerkan dihadapan pantai
putihku yang mungil itu dan merubah kesempurnaanku menjadi keinginanmu, tidakkah kau pedulikan
perasaanku?
Ohh rupanya engkau telah berubah kawan. Sepertinya
engkau mulai mencoba merayuku dengan iming-iming
yang kau sebut Pembangunan itu. Kau mulai
menawarkan perubahan-perubahan fundamental dan
secara diam-diam mencuri dariku. Mencuri hutanku,
mencuri ikanku, mencuri karangku, mencuri tanahku,
mencuri budaya dan adatku. Jika kau mengambil hutanku
dimanakah primataku bermain, engkau mengambil
karangku dimanakah ikanku bertelur, mengambil
tanahku dimanakah durianku bertumbuh dan mengambil
adatku, dimakah aku menemukan sejarah kehidupaku.
Dasar kau pencuri!
Kini kelakukanmu nyata terjadi, kau ambil hutan lebatku
, kini mencari kayu besar sudah susah.
Kau habiskan
batukarangku disepanjang pantai, kini cari ikan susah.
Kau mulai luluhlantahkan hutanku dan kau ganti dengan
Kaliandra, kau akan kesusahan air bersih. Kau rusak
hutan mangroveku hingga hebat kerusakannya, pantaimu akan abrasi, akan susah mencari “kopek/menggu,
sikkoira, lilit, torongai dan kawanannya” karena
ekosistemnya kau rusak. Sebenarnya kau merusak dan
mencari kesusahanmu sendiri!
Tapi aku masih punya harapan karena ada 20 orang
teman-temanku yang akan berjanji dan berjuang
membantuku, semoga mereka mengingat aku, paling
tidak memanggil namaku.
Jakarta, Mei 2019